RESMIKAN KELENTENG DI UNIVERSITAS PANCASILA KETUM MATAKIN INGATKAN KEMBALI SEMANGAT KEBHINEKAAN

MATAKIN- Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN) menghadiri peresmian kelenteng pertama di Universitas Pancasila yang terletak di Jl. Lenteng Agung Jakarta Selatan pada Minggu (3/10) yang bertepatan dengan peringatan hari kelahiran Nabi Agung Kongzi ke-2572 Dalam sambutannya, Xs. Budi Santoso Tanuwibowo menegaskan kembali semangat persatuan dan kebhinnekaan. Pihaknya mengatakan, Indonesia akan menjadi negara yang luar biasa bila sejak pendidikan dasar hingga Perguruan Tinggi ditanamkan rasa cinta terhadap kebangsaan.




“Jika dari pendidikan dasar hingga Perguruan Tinggi ditanamkan rasa cinta kebangsaan, rasanya Indonesia akan menjadi negara yang luar biasa dan mudah-mudahan semua itu berawal dari tempat ini. Meski kelentengnya kecil tapi visinya besar, kelenteng kebajikan agung,” ungkap Xs. Budi.



Pria itu mengatakan, kelenteng di Universitas Pancasila menjadi rumah ibadah yang pertama di resmikan di lingkup Universitas Pancasila dan menjadi kelenteng pertama yang diresmikan oleh MATAKIN di Universitas yang ada di Indonesia. “Jadi ini yang pertama, mudah-mudahan nanti diikuti dengan (peresmian) rumah-rumah ibadah yang lain. Perlu diketahui juga kebiasaan baik seperti ini juga segera diikuti oleh berbagai universitas. Saya dengar UI juga sudah membangun, kemarin saya dapat laporan di Institut Teknologi Nasional Malang juga menyediakan 6 tempat ibadah,” jelasnya.



Mudah-mudahan harapnya, pembangunan rumah ibadah di lingkup Universitas ini menjadi pertanda bahwa ke depannya masalah agama akan memberi lebih banyak maslahat dibanding mudhorotnya. “Semoga apa yang telah ditanamkan di Universitas Pancasila ini benar-benar adalah pengejawantahan Pancasila yang sejati,” ungkap Xs. Budi.


Di sela sambutannya, Ketua Umum MATAKIN tersebut mengisahkan perjuangan umat Konghucu pada masa Orde Baru. Ketika Indonesia baru merdeka 8 bulan tepatnya 18 Juni 1946, kata Xs. Budi, lewat keputusan nomor 2 OEM 1946 tentang Hari Raya, Presiden Soekarno telah mencanangkan 4 hari libur untuk umat Konghucu yang pada saat itu semua orang Tionghoa beragama Khonghucu. “Waktu itu adalah Tahun Baru Imlek, Hari Wafatnya Nabi Kongzi, Cing Ming, dan Hari Lahir Nabi Kongzi. Selama periode Soekarno, itu masih berlaku. Namun pasca perang dingin ada perubahan perubahan kebijakan. Tapi tahun 1965 ada PNPS yang menegaskan bahwa di Indonesia ada 6 agama yang banyak dipeluk oleh orang Indonesia yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu,” jelasnya.



Jadi tambah Xs. Budi, Indonesia tidak pernah melarang satu agamapun dan tidak ada agama resmi, yang ada adalah agama yang banyak dipeluk oleh masyarakat Indonesia. Namun kemudian keluar inpres 1467 yang membatasi segala sesuatu berbau Tionghoa supaya tidak dirayakan secara terbuka. Dalam aturan tersebut  tidak disebut satu kata pun konghucu di sana.


“Tetapi dalam penerapannya pada tahun 1978 keluar penentuan KTP di Konghucu yang  semula ada 6 agama termasuk Konghucu, yang Konghucu dicabut. Sehingga saya yang kelahiran tahun 1960 KTP pertama tahun 1977 Konghucu, tapi tahun 1978 agama saya jadi strit. Ada agama strit di Indonesia,” jelas Xs Budi diselingi candaan.



Hingga pada usianya yang ke empat puluh tepatnya 1 Maret 2000, Presiden Gus Dur lewat Mendagri pada saat itu mengembalikan hak konstitusional umat Konghucu, dan mengembalikan kolom agama pada umat Konghucu. Sekarang kata Xs. Budi, banyak sekali yang ber ktp agama konghucu, termasuk 3 putera dari Djarum Kudus. “Jadi itulah hikmah dari perjalanan panjang. Konghucu tidak pernah dilarang tetapi dibatasi ruang geraknya. Mudah mudahan ke depan hal seperti itu tidak pernah terjadi lagi,”  harapnya.

Hadir pula dalam peresmian, perwakilan pengurus harian MATAKIN,  Rektor Universitas Pancasila, Wakil Rektor 1, 2, dan 3, Dekan Fakultas, serta Ketua Umum Perhimpunan Indonesia Tionghoa (PHTI).



Senada dengan yang dikatakan Xs. Budi, Rektor Universitas Pancasila Prof. Dr. Edie Toet Hendrantno mengatakan bahwa PR terbesar bangsa Indonesia saat ini adalah mengikis budaya bangsa yang menghambat kemajuan agar kemunduran budaya bangsa (entropi) semakin parah. “Kita perlu bersungguh-sungguh melakukan upaya rekayasa sosial, untuk memastikan bangs aini tidak bergerak mundur menjelang peluang bonus demografi dan bahkan 100 tahun Indonesia,” ungkapnya.



Dengan selesainya pembangunan Kelenteng tersebut kata dia, merawat dan memanfaatkan adanya bangunan kelenteng merupakan tanggung jawab bersama. “Namun yang paling utama adalah semoga dapat menebarkan nilai-nilai baik kepada para pengikutnya utamanya, dan semua orang pada umumnya,” pungkas dia.


BAGIKAN

Whatsapp Facebook Twitter